Rektor Universitas Malikussaleh, Prof. Dr. Ir. H. Herman Fithra, ST, MT, IPM, ASEAN.Eng, menyatakan dukungan penuh terhadap rencana penambahan empat Batalyon Teritorial di Aceh. Menurutnya, penambahan ini tidak hanya berfungsi dari sisi pertahanan, melainkan juga sebagai instrumen pembangunan, khususnya di sektor pangan, kesehatan, dan konstruksi. Sebagai alumni Lemhanas, Prof Herman menilai bahwa keberadaan TNI di masa damai sangat penting untuk mendukung program strategis nasional. Ia mencontohkan keterlibatan TNI dalam program ketahanan pangan yang digagas Presiden Prabowo, yang membutuhkan struktur organisasi yang solid dan personel yang siap digerakkan secara cepat dan efektif.
Prof Herman menolak pandangan sempit yang menganggap kehadiran TNI semata-mata berkaitan dengan operasi tempur. Ia menjelaskan bahwa TNI modern tidak hanya berperan dalam peperangan, tetapi juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, pembangunan infrastruktur, penanganan bencana, dan pengembangan pertanian. Bahkan, program rekrutmen TNI saat ini telah membuka jalur bagi sarjana dari bidang pertanian, kesehatan, dan teknik sipil untuk bergabung, sebagai bentuk respons terhadap kebutuhan pembangunan berbasis pertahanan rakyat semesta. Oleh karena itu, kehadiran Batalyon baru seperti Batalyon kesehatan, Batalyon pangan, dan Batalyon konstruksi harus dilihat sebagai bentuk modernisasi peran militer dalam konteks negara demokratis dan berdaulat.
Dari sudut pandang ekonomi, penambahan Batalyon juga membawa dampak langsung terhadap perputaran uang dan pertumbuhan sektor riil di wilayah tempat mereka ditempatkan. Prof Herman menegaskan bahwa keberadaan ratusan prajurit yang menetap akan mendorong permintaan barang dan jasa lokal, menciptakan peluang kerja, serta menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat sekitar. Selain itu, pembangunan markas dan fasilitas penunjang akan melibatkan tenaga lokal dan menyerap material dari daerah setempat, sehingga terjadi efek berganda bagi perekonomian daerah. Menurutnya, langkah ini bisa menjadi pemicu untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Prof Herman juga menekankan pentingnya melihat isu ini dengan kacamata kebangsaan, bukan semata isu keamanan. Ia menyayangkan adanya narasi yang menggiring opini seolah-olah penambahan Batalyon merupakan ancaman atau bentuk militerisasi Aceh. Padahal, menurutnya, justru dengan memberi ruang lebih besar bagi putra-putri Aceh menjadi prajurit organik, nasionalisme akan tumbuh secara alami. Anak-anak muda Aceh mendapat peluang berkontribusi bagi negara, bukan hanya melalui jalur sipil, tetapi juga militer. Hal ini, menurutnya, merupakan bentuk keadilan sosial yang perlu diperluas dan didorong oleh semua pihak.
Sebagai penutup, Prof Herman mengajak seluruh elemen masyarakat dan akademisi untuk tidak melihat isu ini secara sepotong-sepotong. Ia menekankan bahwa dalam pendidikan di Lemhanas, diajarkan pentingnya melihat Indonesia secara menyeluruh—dari sisi geopolitik, ekonomi, sosial, hingga pertahanan. Oleh karena itu, ia menilai rencana penambahan Batalyon ini sebagai kebijakan strategis yang selaras dengan kepentingan nasional. Menurutnya, jika Aceh ingin maju dan berdaya saing, maka harus terbuka terhadap segala bentuk dukungan, termasuk dari institusi TNI yang telah terbukti konsisten hadir dalam pembangunan bangsa, baik dalam masa damai maupun saat krisis.