Kisah Louvie Jogjeriansyah Siswa Sekolah Rakyat Yang Menemukan Harapan Baru Melalui Pendidikan Dan Tulisan

Semilir angin sore berembus lembut di pendopo Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 20 Sleman, Yogyakarta, saat Louvie Jogjeriansyah, atau akrab disapa Jeje, menulis di buku tulisnya. Tangannya menari pelan di atas kertas, menorehkan kisah perjuangan para siswa sekolah tersebut. “Saya sedang menulis cerita tentang kisah siswa SRMA 20, bagaimana perjuangan dan kebersamaan selama belajar di sini,” ujarnya dengan mata berbinar. Bagi Jeje, menulis bukan sekadar hobi, melainkan cara untuk mengabadikan perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku sekaligus menyalakan harapan bagi dirinya dan teman-temannya.

Jeje tumbuh dalam keluarga yang retak sejak usia kecil. Kedua orang tuanya berpisah saat ia masih duduk di bangku kelas tiga SD. Sang ayah pergi tanpa kabar, sementara ibunya membawa adik bungsunya ke Kalimantan, meninggalkan Jeje bersama seorang adik dan nenek di Gunungkidul. Sejak itu, hidupnya berubah. Nafkah dan kasih sayang orang tua menjadi hal yang langka. Bersama nenek dan tantenya yang bekerja sebagai petani, Jeje belajar bertahan hidup dalam keterbatasan. Ia sering membantu di ladang, sekaligus menjadi guru bagi adiknya. Karena itulah, ketika mendapat kesempatan bersekolah di asrama, ia sempat ragu. “Saya takut adik saya enggak ada yang ngajarin, soalnya nenek sudah tua dan tante sibuk,” tuturnya lirih.

Namun, kehidupan membuka jalan baru ketika pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) mengenalkan Sekolah Rakyat. Awalnya, Jeje hampir menyerah karena biaya masuk sekolah menengah atas di daerahnya terlalu tinggi. Tetapi setelah merenung semalaman, ia memberanikan diri mendaftar ke SRMA 20 Sleman. Keputusan itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Di sekolah berasrama itu, Jeje menemukan suasana yang aman, hangat, dan penuh dukungan. “Dulu saya pendiam, jarang bicara. Sekarang saya sudah berani terbuka dengan teman dan guru,” katanya tersenyum. Lingkungan belajar yang inklusif membuatnya tumbuh percaya diri dan bersemangat mengejar mimpi.

Selain perubahan sikap, Jeje merasakan manfaat besar dari fasilitas yang diberikan sekolah. Ia menikmati makanan bergizi tiga kali sehari, ruang belajar yang nyaman, dan pendampingan wali asuh yang selalu memberi motivasi. “Di sini aman, tidak ada yang mengejek. Justru saling dorong untuk maju,” ungkapnya. Perlahan, kondisi fisiknya membaik. Berat dan tinggi badannya meningkat. Lebih dari itu, semangat hidupnya juga tumbuh kembali. Bagi Jeje, Sekolah Rakyat bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah yang mengajarkan arti kesetaraan, keberanian, dan harapan baru bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Kini, Jeje menatap masa depan dengan penuh optimisme. Ia bermimpi menjadi penulis novel dan CEO di masa depan. “Saya ingin menulis kisah kami, 75 anak di SRMA 20, yang diberi kesempatan kedua untuk bermimpi,” ujarnya penuh keyakinan. Guru dan wali asuhnya mendukung penuh niat tersebut, percaya bahwa tulisan Jeje akan menjadi cermin perjuangan anak-anak Sekolah Rakyat yang tak pernah menyerah pada keadaan. Di balik pagar sederhana SRMA 20 Sleman, tersimpan puluhan kisah perjuangan yang lahir dari keterbatasan namun tumbuh dengan semangat besar. Sekolah ini menjadi bukti bahwa ketika pendidikan dibuka untuk semua, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk digapai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *