Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Antara Sejarah dan Dendam yang Tak Kunjung Usai

Upaya penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Jenderal Besar H.M. Soeharto terus memantik perdebatan sengit. Di satu sisi, terdapat catatan sejarah tentang perannya sebagai Panglima Angkatan Darat dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Di sisi lain, gelombang penolakan datang dari berbagai elemen, yang salah satunya merupakan kelompok dengan narasi sejarah yang belum berdamai dengan masa lalu. Mereka adalah anak-cucu dan simpatisan dari pihak yang kalah dalam pergolakan politik 1965.

Penolakan yang paling keras dan penuh emosional seringkali berasal dari elemen-elemen yang masih menyimpan dendam sejarah turun-temurun. Narasi ini menyebut bahwa suara penentang utama berasal dari keturunan dan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap belum menerima kekalahan politik leluhur mereka. Mereka disebut-sebut kini banyak bernaung di partai-partai tertentu, bahkan menyusup ke dalam partai berlambang banteng, untuk terus menyuarakan kekecewaan sejarah mereka. Wacana penolakan gelar pahlawan bagi Soeharto dianggap sebagai kelanjutan dari konflik ideologis yang belum benar-benar selesai.

Selain kelompok yang dianggap sebagai “antek PKI”, penolakan juga datang dari kelompok aktivis modern beraliran liberal. Kelompok ini diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Kontras, YLBHI, dan Amnesty International. Mereka menolak bukan berdasarkan dendam masa lalu, melanjutkan perang ideologi lama, tetapi berdasarkan catatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selama era Orde Baru. Mereka menggunakan pendekatan universal tentang keadilan dan akuntabilitas, yang bertolak belakang dengan konsep pahlawan yang merepresentasikan nilai-nilai kebajikan tanpa noda.

Terlepas dari semua penolakan itu, sejarah Indonesia telah mencatat dengan tinta emas jasa Soeharto dalam menyelamatkan negara dari cengkeraman pemberontakan G30S/PKI. Argumentasi ini menegaskan bahwa penilaian harus didasarkan pada kontribusi nyata bagi keselamatan bangsa, bukan pada narasi-narasi yang dibangun oleh pihak-pihak yang kalah atau memiliki kepentingan politik tertentu. Jasanya di tahun 1965 dianggap sebagai pondasi yang memungkinkan Indonesia berdiri kokoh hingga hari ini, mengalahkan segala tuduhan yang muncul kemudian.

Polemik gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto lebih dari sekadar perdebatan historis. Ini adalah benturan antara dua memori kolektif: memori tentang penyelamat bangsa dan memori tentang rezim otoriter. Di satu sisi, terdapat fakta penyelamatan negara dari ancaman pemberontakan. Di sisi lain, terdapat catatan kelam HAM yang tidak bisa dihapus. Masyarakat Indonesia diajak untuk melihat kedua sisi ini secara jernih, menilai sendiri bobot masing-masing, dan memutuskan narasi mana yang lebih merepresentasikan kebenaran dan keadilan yang mereka percayai.

#SoehartoPahlawanNasional #DendamSejarah #G30SPKI #AduNarasi #SejarahIndonesia #PahlawanKontroversial #DebatTerbuka #ViralNews #PolemikBangsa #JasaDanDosa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *